Kamis, 07 Juli 2011

Desentralisasi Dalam Kerangka Otonomi Daerah Di Indonesia

Kata Pengantar

Makalah ini berjudul Pelaksanaan Desentralisasi Dalam Kerangka Otonomi Daerah Di Indonesia yang diajukan dalam Tugas Akhir Matakuliah Ekonomi Regional. Makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu semua tanggapan, saran-saran kami ucapkan terima kasih guna perbaikan dikemudian. Harapan kami kiranya makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi kita tentang pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Semoga niat baik kita semua mendapat rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Amin.

Penulis.


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sekarang ini tampaknya ada isu yang mendua terhadap sosok dan cara kerja aparatur pemerintah dikebanyakan negara sedang berkembang. pandangan pertama menganggap bahwa birokrasi pemerintah ibarat sebuah perahu besar yang dapat menyelamatkan seluruh warga masyarakat dari bencana banjir, ekonomi maupun politik. Bagaikan dilengkapi oleh militer dan partai politik yang kuat, organisasi pemerintah merupakan dewa penyelamat dan merupakan organ yang dikagumi masyarakat. Pandangan ini didasarkan atas asumsi bahwa di dalam mengolah sumber daya yang dimiliki, organisasi ini mengerahkan para intelektual dari beragam latar belakang pendidikan sehingga keberhasilannya lebih dapat terjamin. Jadi mereka berkesimpulan bahwa birokrasi pemerintah memegang peran utama, bahkan peran tunggal dalam pembangunan suatu negara.
Pada sisi lain, pandangan kedua menganggap birokrasi pemerintah sering menunjukkan gejala yang kurang menyenangkan. Bahkan hampir selalu birokrasi pemerintah bertindak canggung, kurang terorganisir dan buruk koordinasinya, menyeleweng, otokratik, bahkan sering bertindak korupsi. Para aparatnya kurang dapat menyesuaikan diri dengan modernisasi orientasi pembangunan serta perilakunya kurang inovatif dan tidak dinamis. Dalam keadaan semacam ini, pemerintah biasanya mendominasi seluruh organ politik dan menjauhkan diri dari masyarakat.
Berdasarkan dari kedua pandangan tersebut di atas, bahwa pada pandangan pertama mungkin di ilhami dengan pengharapan yang muluk-muluk dan berlebihan, yang dewasa ini mungkin sudah sangat jarang ditemukan, sedangkan pada pandangan kedua merupakan suatu pandangan yang berlebihan yang didasarkan pada prasangka buruk. Bisa juga terjadi kedua pandangan tersebut bertentangan satu sama lain yang didasarkan pada pengamatan yang mendalam dan evaluasi terhadap
kondisi nyata aparatur pemerintah. Sudah barang tentu kritik dan ketidakpuasan yang berlebihan terhadap peran birokrasi dalam pembangunan sangatlah tidak adil. Selalu saja jika terjadi kegagalan dalam usaha pembangunan birokrasi dipandang sebagai biang keladinya. Kegagalan pembangunan memang sebagian besar merupakan tanggung jawab birokrasi namun bukanlah semuanya. Bahkan di beberapa negara, kekurangan efisiensi administrasi negara tidak dianggap sebagai "dosa besar" terhadap ketidakmampuan pemerintah di dalam memenuhi harapan pembangunan ataupun realisasi tujuan sebagaimana telah ditetapkan di dalam rencana pembangunan. Hal yang harus diperhatikan adalah bagaimana caranya agar ketidaksempurnaan administrasi negara itu dapat dikurangi, kalau tidak bisa dihilangkan sama sekali.
Ketidaksempurnaan adaministrasi ini tidak akan dipandang sebagi situasi yang suram, jika seandainya kondisi kesemerawutan administrasi negara ini tidak merebak ke seluruh pelosok negeri, baik pada tingkat regional maupun tingkat nasional. Kondisinya dipersuram lagi dengan adanya keinginan dari birokrasi pemerintah untuk mempertahankan status quo dan menerapkan pola otokratik dan otoriter. Peran pemerintah yang amat dominan dalam pembangunan sosial dan ekonomi membuat semuanya menjadi lebih parah.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Agar masyarakat daerah pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan otonomi daerah.
2. Mengetahui dampak negatif dan dampak positif dari otonomi daerah. 3. Implementasi otonomi daerah terhadap pemerintahan daerah.

DOWNLOAD PDF FORMATNYA DISINI

Transportasi Kota Padang

A. Kondisi Umum Wilayah Kota Padang
Kota Padang merupakan kota pesisir barat sumatera yang merupakan ibukota dari Provinsi Sumatera Barat. Menurut PP No. 17 Tahun 1980, Luas keseluruhan Kota Padang adalah 646,96 Km¬2 atau setaa dengan 1,65 persen dari luas Provinsi Sumatera Barat dengan 11 Kecamatan dan 1404 Kelurahan serta luas laut 905,4 Km2 dengan batas pantai laut sejauh 12 Mil. Dengan uraian 21 buah sungai dan 19 buah pulau yang tersebar di beberapa kecamatan dengan pemanfaatan lahan produktif 180 Km.
Tabel 1.1 Jumlah Pulau dan Panjang Garis Pantai Kota Padang
Uraian 2003 2004 2005
Kota Padang memiliki garis pantai sepanjang 68,126 km dan pulau-pulau kecil sebanyak 17 buah diantaranya yaitu Pulau Sikuai di Kecamatan Bungus Telunk Kabung, dan Pulau Pisang Gadang di Kecamatan Padang Selatan. Kota Padang, sebelah utara berbatas dengan Kabupaten Padang Pariaman, sebelah selatan berbatas dengan Kabupaten Pesisir Selatan, sebelah timur berbatas dengan Kabupaten Solok dan sebelah barat berbatas dengan Samudera Indonesia.
Secara Demogafi, berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kota Padang tahun 2008, tercatat jumlah penduduk Kota Padang sebanyak 819.740 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 2,07 persen pertahun. Kecamatan yang paling tinggi laju pertumbuhannya adalah Kecamatan Koto Tangah sebesar 3,85 persen pertahun. Besarnya jumlah penduduk tersebut merupakan masalah serius yang ditangani secara berkelanjutan. Rasio jenis kelamin dari 819.740 jiwa penduduk Kota Padang, terdiri dari 410.580 jiwa laki-laki dan 409.160 jiwa perempuan.
Ada tiga ruas jalan utama yang menghubungkan Kota Padang dengan kota-kota lain di Sumatera Barat. Jalan ke utara menghubungkan Kota Padang dengan Pariaman, Bukittingi, Pekanbaru, dan Medan. Jalan ke timur menghubungkan dengan Solok sekaligus merupakan jalan lintas sumatera. Jalan ke selatan melintasi pantai barat sumatera menghubungkan Kota Padang dengan Kerinci, dan Bengkulu melalui Kota Painan atau daerah Pesisir Selatan.
Silahkan download PDF file nya DISINI

Pemberlakuan otonomi daerah dan fenomena Pemekaran wilayah di indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada masa sebelum 1998, kekuasaan Pemerintah Pusat negara Republik Indonesia sangat sentralistik dan semua daerah di republik ini menjadi perpanjangan tangan kekuasaan Jakarta (pemerintah pusat). Dengan kata lain, rezim Orde Baru mewujudkan kekuasaan sentripetal, yakni berat sebelah memihak pusat bukan pinggiran (daerah).
Daerah yang kaya akan sumber daya alam, ditarik keuntungan produksinya dan dibagi-bagi di antara elite Jakarta, alih-alih diinvestasikan untuk pembangunan daerah. Akibatnya, pembangunan antara di daerah dengan di Jakarta menjadi timpang.
B.J. Habibie yang menggantikan Soeharto sebagai presiden pasca-Orde Baru membuat kebijakan politik baru yang mengubah hubungan kekuasaan pusat dan daerah dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah atau yang biasa disebut desentralisasi. Dengan terbitnya undang-undang ini, daerah tidak lagi sepenuhnya bergantung pada Jakarta dan tidak lagi mau didikte oleh pusat. Bahkan, beberapa daerah, seperti Aceh, Riau dan Papua menuntut merdeka dan ingin berpisah dari Republik Indonesia.
Pada masa awal reformasi, selain adanya keinginan provinsi memisahkan dari republik, juga bermuncukan aspirasi dari berbagai daerah yang menginginkan dilakukannya pemekaran provinsi atau kabupaten. Dalam upaya pembentukan provinsi dan kabupaten baru ini, tarik-menarik antara kelompok yang setuju dan tidak setuju terhadap pemekaran daerah sebagai akibat dari otonomi daerah meningkatkan suhu politik lokal. Indikasi ini tercermin dari munculnya ancaman dari masing-masing kelompok yang pro dan kontra terhadap terbentuknya daerah baru, mobilisasi massa dengan sentimen kesukuan, bahkan sampai ancaman pembunuhan.
Berangsur-angsur, pemekaran wilayah pun direalisasikan dengan pengesahannya oleh Presiden Republik Indonesia melalui undang-undang. Sampai dengan tanggal 25 Oktober 2002, terhitung empat provinsi baru lahir di negara ini, yaitu Banten, Bangka Belitung, Gorontalo, dan Kepulauan Riau. Pulau Papua yang sebelumnya merupakan sebuah provinsi pun saat ini telah mengalami pemekaran, begitu pula dengan Kepulauan Maluku.
Terakhir, pada 4 Desember 2005 sejumlah tokoh dari 11 kabupaten di Nanggroe Aceh Darussalam mendeklarasikan pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara dan Provinsi Aceh Barat Selatan. Aceh Leuser Antara terdiri dari lima kabupaten, yakni Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Gayo Lues, dan Bener Meriah. Sedangkan Aceh Barat Selatan meliputi Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Semeulue, dan Nagan Raya.

untuk lengkapnya download PDF file nya disini