BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Skenario Pertumbuhan Ekonomi
Mengawali kerja beratnya, Pemerintah telah menetapkan sasaran-sasaran ekonomi yang diungkapkan dalam indikator-indikator laju pertumbuhan berikut: Mendorong laju pertumbuhan ekonomi dari 4,5% pada tahun 2003 menjadi 7,6% pada tahun 2009, sehingga dalam lima tahun mendatang dapat mencapai rata-rata 6,6% per tahun. Tingkat pertumbuhan ini, secara teoritik, diperlukan untuk menurunkan angka pengangguran dan tingkat kemiskinan. Pengangguran akan dikurangi dari 9,5% pada tahun 2003 menjadi 6.7 % pada tahun 2009. Sedangkan tingkat kemiskinan ditekan dari 16,6 % pada tahun 2004 menjadi 8,2% pada tahun 2009. Sasaran laju pertumbuhan di atas hanya akan tercapai jika rasio investasi terhadap PDB dapat ditingkatkan dari 20,5% pada tahun 2004 menjadi 28.4% pada tahun 2009.
Lebih lanjut, secara konsensual disebutkan bahwa sumber pertumbuhan ekonomi umumnya mengandalkan pada aspek konsumsi, investasi dan ekspor. Laju pertumbuhan ekonomi yang kita alami selama tahun-tahun terkahir, ternyata lebih banyak didominasi oleh pertumbuhan konsumsi yang sangat berfluktuasi. Sedangkan pertumbuhan dengan meningkatkan investasi mengalami hambatan karena iklim investasi yang belum membaik, sementara negara-negara tetangga terutama di Asia Tenggara lebih menarik dan menjanjikan bagi investor. Keadaan ini diperburuk oleh kondisi infrastruktur yang kurang memadai untuk menopang kebutuhan minimal pertumbuhan ekonomi yang kita butuhkan untuk menekan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Secara sektoral, pemerintah berketetapan hati menempuh kebijaksanaan untuk mempercepat pemulihan pertumbuhan ekonomi. Yang terkait langsung dengan UMKM, dalam berbagai kesempatan, telah dicanangkan tiga butir kebijakan pokok di bidang ekonomi. Pertama, adalah peningkatan layanan jasa keuangan khususnya untuk pelaku UMKM, yang meliputi perbaikan layanan jasa perbankan, pasar modal, multifinance, asuransi, dsb. Kebijakan pokok kedua adalah peningkatan infrastruktur layanan jasa-keuangan, berupa akses pasar, layanan penagihan dan pembayaran, kemudahan investasi dan menabung, serta dukungan umum atas pelaksanaan transaksi perdagangan.
Data tahun 2003 menunjukkan bahwa UMKM menyerap 99.45% tenaga kerja, tetapi hanya 58.3% dalam penciptaan nilai tambah. Akibatnya terdapat ketimpangan yang mencolok antara produktivitas per tenaga kerja antara UMKM dengan usaha besar yaitu 1:129. Jika seandainya produktivitas tenaga kerja dalam UMKM dapat menyamai 2% saja (dari 0.8% dewasa ini) dari produktivitas usaha besar maka nilai PDB Indonesia akan meningkat lebih dari 50% dari PDB tahun 2003.(Bakri, 2004). Peningkatan layanan jasa dan infrastruktur pendukungnya tidak akan berarti banyak tanpa upaya pembenahan menyeluruh untuk meningkatkan kemampuan entrepreneurship bagi pelaku UMKM. Maka, kebijakan pokok ketiga adalah meningkatkan kemampuan dan penguasaan aspek-aspek teknis dan manajemen usaha, pengembangan produk dan penjualan, administrasi keuangan, dan kewirausahaan secara menyeluruh.
Pengembangan Agroindustri
Paparan skenario di atas tidak secara spesifik menunjukkan pada segmen industri apa prioritas pengembangan akan difokuskan. Pengembangan agroindustri merupakan salah satu opsi yang perlu dipertimbangkan. Sebagai industri berbasis sumber daya, agroindustri berpotensi dapat meningkatkan cadangan devisa serta penyediaan lapangan kerja. Hal ini dinilai strategis mengingat Indonesia merupakan satu dari sedikit negara di daerah tropis yang memiliki keragaman hayati (biodiversity) cukup besar. Untuk sektor perkebunan saja tidak kurang dari 145 komoditi yang tercatat sebagai komoditi binaan, sementara yang memiliki nilai ekonomis dapat diandalkan baru sekitar 10% diantaranya kelapa sawit, karet, kopi, jambu mete (Saragih, 2002).
Selanjutnya, pengembangan agroindustri akan sangat strategis apabila dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan. Pengertian terpadu adalah keterkaitan usaha sektor hulu dan hilir (backward and forward linkages), serta pengintegrasian kedua sektor tersebut secara sinergis dan produktif. Sedangkan dengan konsepsi berkelanjutan, diartikan sebagai pemanfaatan teknologi konservasi sumberdaya dengan melibatkan kelompok lembaga masyarakat, serta pemerintah pada semua aspek.
Dengan demikian diperlukan jaringan kerja dan peran aktif semua pihak yang terkait. Keterpaduan dan berkelanjutan inilah yang menempatkan UKM yang tergabung dalam sentra sentra, menjadi variabel penting. Hal ini karena agroindustri, yang memproduksi kebutuhan konsumsi masyarakat memiliki .multiplier effects. tinggi karena keterlibatan berbagai komponen dalam masyarakat (Tambunan, 2003).
Dari sisi perkembangan usaha dan kelembagaan, Departemen Perindustrian mendata 40 jenis komoditi dari air minum, ikan dalam kaleng, kecap, sampai dengan makanan ringan (snack food). Data yang dikumpulkan Depperindag (2003) menunjukkan bahwa perusahaan yang terlibat dalam agroindustri, jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Pada tahun 2000 tercatat 2.673 perusahaan, dan berkembang menjadi 2.924 perusahaan pada tahun 2004. Meningkatnya jumlah perusahaan agroindustri ternyata berdampak terhadap meningkatnya jumlah tenaga kerja. Total tenaga kerja pada tahun 1999 adalah 735.388 dan tumbuh menjadi 744.777 pada tahun 2003. Jumlah tenaga kerja ini adalah karyawan yang terlibat langsung dalam perusahaan. Jumlahnya akan jauh lebih besar bila memperhitungkan tenaga kerja yang tidak langsung terkait dengan perusahaan agroindustri, misalnya pedagang pengecer, pemasok, dan tenaga permanen.
Sementara itu, perkembangan kapasitas produksi menunjukkan gambaran bahwa masih banyak kemampuan produk yang bisa dioptimalkan. Data yang ada menunjukkan bahwa pada semua komoditi, total kapasitas terpasang masih lebih besar dibandingkan dengan produksi riil. Rata-rata utilitas pada tahun 2001 adalah 56.25% dan menjadi 14.94% pada tahun 2004. Dengan demikian terjadi peningkatan produksi, yang lebih banyak dapat memanfaatkan kapasitas terpasang.
Dalam kegiatan ekspor-impor, agroindustri juga menunjukkan perkembangan. Dengan menggunakan ukuran berat/tonase, maka pada tahun 2000 diekspor 5.442 metrikton, meningkat menjadi 5.937 metrikton tahun 2003. Nilainya meningkat dari USD 2.743 juta pada tahun 2000 menjadi USD 3.769 juta pada tahun 2003. Sementara itu, dari sisi impor, ternyata juga mengalami kenaikan yaitu dari 1.835 metrikton pada tahun 2000 bernilai USD 696 juta menjadi 3.217 metrikton senilai USD 1.217 juta pada tahun 2003. Dari sisi investasi dalam agorindustri menunjukkan peningkatan walaupun tidak signifikan, yaitu dari total investasi sebesar Rp. 26.729 milyar pada tahun 1999 menjadi Rp. 27.850 milyar pada tahun 2003. Data sebagaimana dilaporkan di atas secara umum menggambarkan tren peningkatan dalam berbagai aspek pengembangan agroindustri. Sudah barang tentu tren umum di atas kurang menampakkan aspek lain yang lebih rinci, misalnya; proporsi perkembangan komoditas strategis, jenis dan sebaran komoditas di masing-masing wilayah, dan produktivitas masing-masing unit produksi.
B. Rumusan Masalah
- Apakah agroindustri skala menengah dan skala kecil mampu berkembang dengan baik atau tidak?
- Apakah agroindustri ini mampu meningkatkan ekonomi mikro indonesia?
- Apakah agroindustri bisa menyerap tenaga kerja yang banyak?
C. Tujuan Penulisan
- Melihat apakah agroindustri di Indonesia layak untuk berkembang
- Melihat apakah agroindustri mampu berdaya saing
- Kebijakakan-kebijakan pemerintah yang mendukung usaha agroindusrti
download PDF file disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar